Berbahasa-bahasa yang “Benar”…. (Maksudnya??)

Sebagai Orang Indonesia, tidak ada salahnya saya membahas tentang Bahasa Indonesia dalam tulisan saya kali ini. Tulisan ini hanya sebuah pengamatan dari prilaku berbahasa kita baik itu di ranah resmi maupun pergaulan.

Suatu hari di sebuah coffee shop saya mendengar orang-orang dengan muka melayu seperti saya, bicara keras-keras menggunakan Bahasa Inggris. Itu hak mereka, saya tidak bisa melarang, tapi menurut saya ini merupakan salah satu tren berbusana baru di negeri kita. Bahasa yang kita gunakan adalah busana yang kita pakai. Akan lebih dianggap berkelas bila kita berbicara menggunakan Bahasa Inggris di muka umum apalagi kalau terdengar orang lain, hingga volumenya harus dikeraskan.  ” #sedikit konyol tapi fakta :D”

Karena tren ini, Bahasa Indonesia telah mengalami diskriminasi. Sebagian kata-kata di dalamnya pun mengalami penyempintan makna ke arah yang lebih buruk (peyoratif). Contoh adalah kata coffee shop tadi, mengapa saya tidak gunakan kata warung kopi, secara leksikal makna keduanya sama bukan? Coffee shop dan warung kopi masing-masing telah mengalami penyempitan makna, satu ke arah yang lebih baik (amelioratif) dan satu ke arah yang lebih buruk (peyoratif). Tempat minum kopi di mal = coffee shop, tempat minum kopi di pinggir jalan = warung kopi, ini sebuah diskriminasi yang sangat jelas dan membuat bahasa kita terlihat buruk.

Mengajarkan anak Bahasa Inggris pada anak usia dini adalah hal yang bagus sebagai antisipasi dari era globalisasi. Namun berbicara dengan anak menggunakan Bahasa Inggris di tempat umum dengan volume yang dikeraskan menurut hemat saya hanya sebuah tren busana baru. Bisa memalukan bila ada orang lain yang lebih mengerti, bisa-bisa kita ditertawakan karena salah kostum.

Kebiasaan lain adalah memakai istilah asing, kemudian diterjemahkan pada kalimat yang sama? What for? Buat apa?, seperti itu contohnya. Contoh ini semakin memperjelas bahwa Bahasa Inggris yang dipakai hanya sebuah tren busana, karena tidak ada gunanya, toh langsung diterjemahkan pada kalimat yang sama. “Aku tuh orangnya selalu up to date, nggak mau ketinggalan jaman,” nah kena lagi deh, apa bedanya sih? Jelas ini hanya tren busana. Mengapa tidak cukup “Aku tuh orangnya selalu up to date,” kalau memang toh mau mencampur bahasa.

Kata asing diserap ke Bahasa Indonesia dengan dasar salah satunya karena tidak ada padanan yang tepat. Namun seandainya pun terpaksa dipakai, mengapa harus diterjemahkan saat itu juga dalam kalimat yang sama? Jelas ini menunjukkan ketidakberfungsian kata asing tersebut dalam kalimat, ya saya ulang hanya tren busana tadi itu. Saya bicara untuk penggunaan Basaha Indonesia. Seseorang menggunakan Bahasa Inggris secara penuh dalam satu kalimat, ya itu malah bagus.

Contoh lain yang menggelitik: “Terimakasih atas support dan dukungannya?” hah? Ini orang mengerti tidak sih support dan dukungan itu the same thing, hal yg sama, hahaha, maaf saya bercanda. Dalam berbahasa dikenal majas repetisi, mengulang suatu kata atau sebagian kalimat untuk mempertegas, tapi ini bukan contoh majas repetisi. Contoh majas repetisi seperti ini: “Adi, mama pergi, kamu jaga rumah ya, ingat kamu jaga rumah,” jelas kan bedanya dengan kasus support dan dukungan tadi.

Yang saya bahas adalah penggunaan bahasa tertentu untuk menunjukkan strata. Bapak bangsa sudah tepat memilih bahasa melayu sebagai akar bahasa kita. Bahasa melayu tidak mengenal strata seperti Bahasa Jawa dimana ada kromo inggil. Bahasa Indonesia yang sudah diperkosa oleh strata, sekarang giliran didiskriminasi oleh bahasa asing. Berbusanalah yang pantas, mari berbahasa yang pantas juga. Bahasa pergaulan adalah sesuatu yang sah dipakai, saya tidak mengkritisi akhiran ‘in’ pada bahasa pergaulan, saya mengkritisi cara berbahasa, campur aduk yang salah, yang sekedar mengutamakan gaya, laksana tren busana.

Tren baru lagi, untuk terlihat lebih gaul gunakan Bahasa Inggris, untuk terlihat lebih alim gunakan Bahasa Arab. Contoh “Saya sudah di-zolimi“,  alah bilang saja, “Gue udah dikerjain”. Mau contoh yang lebih parah “Kita jangan negative thingking, itu suuzon, namanya sudah berburuk sangka”, parah sekali tapi tidak asing di telinga kita.  Apakah bedanya negative thinking, suuzon dan berburuk sangka? Jangan salah sangka, saya bukan menentang penggunaan Bahasa Inggris atau Arab, tapi bebahasalah yang benar. Layaknya berbusana yang benar belum tentu harus formal kan?

Pragmatika mengajarkan penyempitan makna dengan maksud tertentu, hanya saya rasa sekarang sudah terlalu pragmatif, contoh kasus coffee shop vs warung kopi tadi. Kalau mau lebih ekstrim secara leksikal mati dan meninggal itu sama, nikah dan kawin itu sama, lihat saja KBI.

Terimakasih sudah membaca racauan saya…

Masbro dan Mbkbro Bisa Tinggalkan Balasan